PERAN AHLI GIZI RUMAH SAKIT
Oleh :
ULFATUN KHASANAH
Kesehatan
dan gizi merupakan faktor penting karena secara langsung berpengaruh terhadap
kualitas sumber daya manusia (SDM). Untuk itu, diperlukan upaya peningkatan
status gizi masyarakat melalui perbaikan gizi, baik dalam lingkup keluarga
maupun pelayanan gizi individu yang sedang dirawat di Rumah Sakit (RS).
Pelayanan gizi di RS merupakan hak setiap orang dan memerlukan pedoman agar
tercapai pelayanan yang bermutu. Pelayanan bermutu yang sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan. Misalnya terapi gizi medis
yang merupakan kesatuan dari asuhan medis, asuhan keperawatan dan asuhan gizi
hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
kesehatan (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003)
Sesuai
dengan keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1333/Menkes/SK/XII/1999, maka pelayanan
gizi Rumah Sakit (PGRS) adalah salah satu dari 20 pelayanan wajib RS. PGRS
adalah kegiatan pelayanan gizi di Rumah Sakit untuk memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat, baik rawat inap maupun rawat jalan, untuk kepentingan metabolisme
tubuh, dalam rangka upaya preventif, kuratif , rehabilitatif maupun promotif.
Instalasi gizi merupaka organ fungsional dalam jajaran direktorat penunjang dan
pendidikan dengan kegiatan pokok yang meliputi penyelenggaraan makanan, asuhan
gizi rawat inap, asuhan gizi rawat jalan dan penelitian pengembangan gizi
terapan (Aritonang, 2009).
Ruang
lingkup kegiatan manajemen asuhan gizi meliputi sub instalasi Pelayanan Gizi
Ruang Rawat (PGRR) dan Subinstalasi pendidikan, penyuluhan, Konsultasi dan
Rujukan Gizi (PPKR). Sedangkan peran ahli gizi dalam penyelenggaraan makanan
sangat diperlukan antara lain dalam penentuan kecukupan gizi, perencanaan menu,
hingga menentukan indikator mutu. Selain itu, juga melakukan pengawasan
kualitas dan kuantitas makanan sesuai mutu dan spesifikasi, serta menganalisis
harga makanan (Aritonang, 2009).
Proses
pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan terdiri atas empat tahap, yaitu : 1)
Assesment atau pengkajian gizi; 2) Perencanaan pelayanan gizi dengan menetapkan
tujuan dan strategi; 3) Implementasi pelayanan gizi sesuai rencana; 4)
Monitoring dan evaluasi pelayanan gizi (Almatsier, 2004).
Pelayanan
gizi di rumah sakit menduduki tempat yang sama penting dengan pelayanan lain
seperti pelayanan pengobatan, perawatan medis dan sebagainya yang diberikan
untuk penyembuhan penyakit. Bentuk pelayanan gizi rumah sakit akan bergantung
pada tipe rumah sakit, macam pelayanan spesialistis yang diberikan di rumah
sakit tersebut (Moehji, 2003).
Pelaksanaan
terapi gizi medis harus komprehensif, proporsional dan dinamis mengikuti
perkembangan kondisi klinis pasien. Dalam hal ini diperlukan kerjasama yang
baik antara dokter, nutrisionis/dietisen, perawat dan tenaga kesehatan lain
yang terkait dengan pelaksanaan tim
asuhan gizi di rumah sakit/puskesmas (Depkes
RI , 2003).
Pelayanan
gizi yang lengkap (yang) umumnya diselenggarakan di rumah sakit tipe A, tipe B
dan beberapa rumah sakit tipe C terdiri dari :
1)
Penyediaan,
pengelolaan dan penyaluran makanan bagi penderita, baik makanan biasa maupun
makanan diet
2)
Pelayanan gizi
di ruang perawatan, terutama untuk melayani pasien yang memerlukan makanan
khusus atau diet khusus
3)
Pelayanan
konsultasi gizi, baik bagi penderita rawat jalan maupun penderita rawat tinggal
4)
Berbagai
kegiatan penelitian untuk mengembangkan teknologi penyembuhan penyakit melalui
pengaturan makanan dan aspek-aspek lain dari pelayanan gizi; dan
5)
Pendidikan bagi
tenaga paramedis terutama yang bertugas di ruang perawatan bertalian dengan
kegiatan pelayanan gizi di ruang perawatan (Moehji, 2003).
Dalam
aplikasinya, para ahli gizi bisa menerapkan beberapa model pelayanan gizi, yang
bisa diaplikasikan di rumah sakit maupun masyarakat, namun tidak semua model
pelayanan tersebut sudah standar. Minimal ada 3 model yang dipakai atau
dikembangkan di institusi pelayan kesehatan yaitu sebagai berikut :
Pertama, model yang sebenarnya tidak dianjurkan dimaa setiap
profesi (Dokter, perawat, Ahli gizi/Dietisen) menangani pasiennya masing-masing
tanpa ada hubungan dan koordinasi antar profesi. Ahli gizi menyiapkan makanan
pasien sesuai pemahamannya tanpa ada informasi mengenai keadaan pasien yang
akurat dari dokter, perawat, maupun profesi lain yang terkait.
Kedua, model pelayanan gizi yang kurang lebih serupa
dengan model pertama, tetapi bentuk pelayanan dilakukan oleh tim yang dikenal
dengan Nutrition Support Team (NST), yang terdiri dari dokter, perawat,
pharmacist (ahli obat-obatan) dan dietetion/ahli gizi. Pada model kedua ini
juga belum ada koordinasi antara masing-masing profesi dalam satu pelayanan
bagi pasien, namun mereka telah menerapkan pelayanan terstandar yang dikerjakan
dalam satu tim. Salah satu kelemahan dari
model kedua ini adalah banyaknya profesi yang harus terlibat dalam satu
pelayanan pasien. Pelayanan semacam ini umumnya diterapkan di rumah saki yang
memiliki sumberdaya manusia cukup banyak. Model ini juga sudah menerapkan proses asuhan gizi secara
tim, yang dikenal dengan istilah Nutritional Care Process (NCP).
Ketiga, model yang banyak direkomendasikan, dimana aplikasi
pelayanan gizi dilaksanakan dalam satu tim, dengan melibatkan dokter, perawat
dan dietisen/ahli gizi. Keterlibatan masing-masing profesi dalam pelayanan ini
benar-benar maksimal dan terjadi koordinasi antar profesi, sehingga dalam
memutuskan bentuk pelayanan yang akan diberikan kepada pasien memiliki tujuan
yang sama
Dari model ketiga
tersebut muncul pola kerjasama atau kolaborasi antara tenaga gizi, dokter dan
perawat dalam suatu teamwork yang seharusnya diterapkan bagi pasien . Ciri
kerjasama antar kelompok kerja ini dalam menyelesaikan masalah klien adalah :
koordinasi, saling berbagi, kompromi, interrelasi, saling ketergantungan atau
interdependensi serta kebersamaan. Dengan demikian, diantara semua profesi
harus mempunyai satu kesatuan komitmen dan kemampuan serta tanggung jawab dalam
merespon masalah kesehatan. Perkembangan profesi gizi membutuhkan upaya
penataan system pendidikan sehingga menghasilkan professional gizi yang mampu
meningkatkan hubungan kemitraan antara dokter, perawat dan tenaga gizi dalam
pengabdian kepada masyarakat dibidang kesehatan (Bakri, 2010).
Upaya kemitraan profesi di rumah sakit bisa
dihimpun salahsatunya dengan memperbanyak kajian kasus yang melibatkan tim
asuhan gizi secara rutin seperti morning report, morning meeting, visite
bersama/ visite besar maupun bentuk kegiatan yang lain.
Profesionalisme Ahli Gizi (Bakri, 2010)
Profesi
gizi dan dietetik, disamping profesi kesehatan lain, dalam sejarahnya merupakan
cabang dari profesi kedokteran. Dimasa yang akan dating, profesi gizi dituntut
untuk mampu menunjukkan profesionalisme yang lebih tinggi bila ingin
ditempatkan sejajar dengan profesi lain.
Profesi
gizi, sebagai profesi kesehatan terdiri dari para anggotanya yang memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
1)
Mengembangkan
pelayanan yang unik kepada masyarakat
2)
Anggota-anggotanya
dipersiapkan melalui suatu program pendidikan
3)
Memiliki
serangkaian pengetahuan ilmiah
4)
Anggota-anggotanya
menjalankan tugas profesinya sesuai kode etik yang berlaku
5)
Anggota-anggotanya
bebas mengambil keputusan dalam menjalankan profesinya
6)
Anggota-anggotanya
wajar menerima imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan
7)
Memiliki suatu
organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan yang
diberikan kepada masyarakat oleh para anggota.
8)
Pekerjaan
tersebut adalah sumber utama seumur hidup
9)
Berorientasi
pada pelayanan dan kebutuhan objektif
10) Otonomi dalam melakukan tindakan
11) Melakukan ikatan profesi dan lisensi jalur karir
12) Mempunyai kekuatan dan status dalam pengetahuan
spesifik
13) Altruism (memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi)
Ahli
gizi dan ahli madya gizi, sebagai pekerja profesional harus memiliki
persyaratan seperti berikut :
1)
Memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau spesialis
2)
Melalui jenjang
pendidikan yang menyiapkan tenaga professional
3)
Keberadaannya
diakui dan diperlukan oleh masyarakat
4)
Mempunyai
kewenangan yang disyahkan atau diberikan oleh pemerintah
5)
Mempunyai peran
dan fungsi yang jelas dan terukur
6)
Memiliki
organisasi profesi sebagai wadah
7)
Memiliki etika
ahli gizi
8)
Memiliki standar
praktek
9)
Memiliki standar
pendidikan yang mendasarinya dan mengembangkan profesi sesuai dengan pelayanan
10) Memiliki standar berkelanjutan sebagai wahana
pengembangan kompetensi
Pada
era globalisasi saat ini, pasar kerja membutuhkan tenaga yang mampu bekerja
secara profesional, yang menguasai kemampuan
teknik (Technical competencies) dan kemampuan dalam bertingkah laku yang baik
(behavioral competencies). Pada rumah sakit dibutuhkan tenaga kerja yang
memiliki kriteria sebagai berikut :
a.
Mempunyai
wawasan multidimensi
b.
Memiliki
kemampuan untuk menggunakan sarana teknologi mutakhir (computer, internet)
c.
Mampu
beradaptasi dengan lingkungan
d.
Kemampuan
membangun kerjasama dalam tim
e.
Ketahanan fisik
dan kepribadian yang matang
f.
Mempunyai
kemampuan wirausaha (Enterpreneurship)
g.
Memiliki
ketrampilan negosiasi yang baik
h.
Terampil dalam
mengambil keputusan yang tepat
Namun, pada
kenyataannya, para lulusan tenaga profesi kesehatan yang ada saat ini belum
memuaskan masyarakat. Ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya :
a.
Pada umumnya
para lulusan tersebut belum siap pakai secara teori dan praktek
b.
Rasa percaya
diri yang dimiliki masih rendah
c.
Gagap teknologi
d.
Semangat juang
rendah
e.
Kualitas lulusan
tidak terstandar
f.
Kemampuan
komunikasi rendah
g.
Sikap kerja
lamban dan kurang antusias
h.
Kurang mandiri
i.
Kerjasama tim
lemah
Peran, Fungsi dan Kompetensi
Tenaga
gizi yang ada di Indonesia
saat ini masih banyak memiliki latar belakang pendidikan Diploma 3, sedangkan
pendidikan sarjana gizi baru saja dimulai. Adanya berbgai jenis tenaga gizi ini
tentunya memiliki wewenang dan kompetensi yang berbeda. Keadaan ini menuntut
adanya pembedaan standar profesi untuk setiap kualifikasi tersebut untuk
mencegah tumpang tindih kewenangan dari berbagai profesi yang terkait dengan
gizi. Selain itu, standar ini dibutuhkan dalam rangka menjaga mutu pelayanan
gizi yang professional baik bagi individu maupun kelompok, dan mencegah
timbulnya malpraktik gizi (Bakri, 2010).
Standar
profesi gizi merupakan pedoman bagi setiap tenaga gizi dalam menjalankan tugas
profesinya. Dengan demikian penyusunan standar profesi gizi di Indonesia
dimaksudkan sebagai :
1)
Acuan bagi
penyelenggaraan pendidikan gizi di Indonesia dalam rangka menjaga mutu
gizi
2)
Sebagai acuan
prilaku gizi dalam mendarmabaktikan dirinya di masyarakat
3)
Menjaga dan
meningkatkan mutu pelayanan gizi yang professional baik untuk individu maupun
kelolpok
4)
Mencegah
timbulnya malpraktek gizi (Depkes RI ,
2008)
Kompetensi dari
lulusan pendidikan profesi terdiri dari 3 (Tiga) bidang materi yaitu :
1)
Bidang Dietetik
(Clinical Nutrition)
2)
Bidang
Penyelenggaraan Makanan (Food Service and Food Production)
3)
Bidang Gizi
Masyarakat (Community Nutrition)
Pada
dasarnya, terdapat 9 peran ahli gizi (dasar pendidikan S1 gizi dengan 46 kompetensi,
dan 6 peran ahli madya gizi (dasar pendidikan D3 gizi) dengan 43 kompetensi. Peran
Ahli Gizi di Rumah Sakit diantaranya adalah :
1) Pelaku
tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik
2) Pengelola
tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi di rumah sakit
3) Penyuluh/konsultan
gizi
4) Pengelola sistim
penyelenggaraan makanan rumah sakit
5) Berpartisipasi
bersama tim kesehatan dan lintas sektoral
6) Pelaku praktik
kegizian yang bekerja secara professional dan etis
7) Pelaksana
peneitian gizi
Sedangkan peran dan
fungsi Ahli Madya Gizi diantaranya :
1)
Pelaku
tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik
Fungsi :
a. Mengkaji data dan mencirikan masalah gizi klinik
b. Memberikan masukan kepada dokter tentang preskripsi
diet
c. Merancang pola diit klien berdasarkan preskripsi diet
dari dokter
d. Mengawasi pelaksanaan diit klien
2)
Penyelia sistim
penyelenggaraan makanan rumah sakit
Fungsi :
a. Mengkaji data dan mencirikan masalah SPMI
b. Memberi masukan kepada mitra kerja tentang masalah
SPMI
c. Merencanakan pelaksanaan SPMI
d. Mengawasi pelaksanaan SPMI
3)
Penyuluh/konsultan
gizi
Fungsi
:
a. Merancang penyuluhan, pelatihan, dan konsultasi gizi
b. Melakukan penyuluhan, pelatihan dan konsultasi gizi
4) Pelaku praktik
kegizian yang bekerja secara professional dan etis
Fungsi
:
a. Melaksanakan kegiatan pelayanan gizi/praktik kegizian
b. Memantau dan mengevaluasi pelayanan gizi/praktik
kegizian
Berdasarkan kondisi
dilahan, ahli gizi sudah berusaha memenuhi peran dan fungsinya sesuai
kompetensi dank kode etik profesi yang dimiliki meskipun masih banyak kendala
yang ditemukan diantaranya :
1)
Kurangnya
tenaga/jumlah ahli gizi sehingga ahli gizi masih merangkap tugas sehingga
asuhan gizi kurang berjalan maksimal
2)
Keselamatan
pasien (Patient Safety) masih belum dilakukan karena masih banyak ditemukan
kurang tepatnya diit yang diberikan
3)
Kegiatan
skrining gizi belum dilaksanakan ke seluruh pasien sehingga terdapat
kemungkinan tidak terpaparnya pasien yang seharusnya mendapat asuhan gizi
karena resiko malnutrisi
4)
Kurangnya sarana
dan prasarana yang mendukung seperti pengukur tinggi badan, tinggi lutut,
pengukur Lila sehingga hasil pengukuran kurang valid karena menggunakan metline
biasa.
5)
Konseling gizi
terkadang belum berjalan secara maksimal. Beberapa pasien yang mendapatkan
lefleat masih mengaku belum mengerti dengan materi yang diberikan.
6)
Masih banyak
pasien yang belum mengenal ahli gizi ruangan terutama pasien yang hanya
menerima Medical Nutrition Therapy (MNT)
7)
Kompetensi dan
tingkat pendidikan ahli gizi masih perlu ditingkatkan karena mayoritas tenaga
masih Diploma III (Tiga) Gizi
8)
Tim asuhan gizi
belum berjalan optimal
Beberapa
kondisi diatas menggambarkan kurang optimalnya kegiatan asuhan gizi diruangan
sehingga perlu peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung, penambahan
tenaga ahli gizi yang proporsional dengan beban kerja yang ada, peningkatan
profesionalitas ahli gizi yang salahsatunya dengan meningkatkan pendidikan baik
formal maupun informal (Shortcourse, seminar/symposium/work shop), kemitraan
dengan profesi lain khususnya tim asuhan gizi juga perlu ditingkatkan sehingga
kegiatan asuhan gizi lebih optimal dijalankan.
Kode Etik Ahli Gizi (Depkes RI ,
2008)
Salah
satu ciri yang menandai suatu profesi adalah mempunyai kode etik yang jelas
bagi para anggotanya. Profesi gizi juga memiliki kode etik PERSAGI yang terdiri
dari 7 Bab, yaitu :
Bab II. Kewajiban
terhadap klien ( 5 point)
Bab III. Kewajiban
terhadap masyarakat ( 2 point)
Bab IV. Kewajiban
terhadap teman seprofesi dan mitra kerja ( 3 point)
Bab V. Kewajiban
terhadap profesi dan diri sendiri ( 9 point)
Bab VI. Penetapan
pelanggaran ( 4 point)
Bab VII. Kekuatan
kode etik ( 2 point)
Untuk
memudahkan para ahli gizi dalam memahami tentang kode etik profesi gizi, dapat
ditarik tentang essensi yang terkandung dari masing-masing kewajiban yang ada,
dengan menggunakan kata kunci sebagai berikut :
1.
Kewajiban
terhadap Klien :
Ahli gizi, sepanjang waktu menjalankan profesinya,
senantiasa berusaha untuk :
a. Memeihara dan meningkatkan status gizi klien, baik
dalam lingkup institusi pendidikan gizi maupun dalam masyarakat umum
b. Menjaga kerahasiaan klien/masyarakat
c. Menghormati, menghargai, tidak mendiskriminasikan
d. Memberikan pelayanan gizi yang prima
e. Memberikan informasi yang tepat, jelas, dan apabila
tidak mampu, senantiasa berkonsultasi.
2.
Kewajiban
terhadap Masyarakat :
a. Ahli gizi, sepanjang waktu menjalani profesinya,
senantiasa berusaha untuk :
b. Melindungi masyarakat dari informasi yang keliru, dan
mengarahkan kepada kebenaran
c. Melakukan pengawasan pangan dan gizi
3.
Kewajiban
terhadap Teman Seprofesi dan Mitra Kerja :
Ahli
gizi, sepanjang waktu menjalani profesinya, senantiasa berusaha untuk :
a. Bekerjasama dengan berbagai disiplin ilmu sebagai
mitra kerja
b. Memelihara hubungan persahabatan yang harmonis
c. Loyal dan taat azaz
4.
Kewajiban
terhadap Profesi dan Diri Sendiri :
Ahli
gizi, sepanjang waktu menjalani profesinya, senantiasa berusaha untuk :
a.
Melindungi dan
menjunjung tinggi ketentuan profesi
b.
Mengikuti
perkembangan IPTEK terkini
c.
Percaya diri,
menerima pendapat orang lain yang memang benar
d.
Mengetahui
keterbatasan diri sendiri
e.
Mendahulukan
kepentingan umum diatas kepentingan pribadi
f.
Tidak memuji
diri sendiri
g.
Memelihara
kesehatan dan gizinya
h.
Bekerja untuk
masyarakat umum
i.
Benar-benar
melaksanakan tugas pelayanan gizi
DAFTAR PUSTAKA :
Aritonang, Irianton. 2009.
Manajemen Penyelenggaraan Makanan&Asuhan Gizi. CEBios. Yogyakarta
Bakri, Bachyar dan Annasari
M. 2010. Etika dan Profesi Gizi. Graha Ilmu. Yogyakarta .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar