Kamis, 14 Februari 2013


Reviews

DIBALIK SULITNYA PENCAPAIAN ASI EKSKLUSIF
Oleh : Ulfatun Khasanah S.Gz

Air Susu Ibu (ASI) merupakan sumber nutrient yang baik bagi bayi. Keuntungannya sangat banyak bisa berupa jangka pendek maupun jangka panjang. Bayi yang mendapat ASI akan lebih kebal terhadap paparan berbagai penyakit infeksi. Selain itu, menyusui sendiri akan memberikan banyak manfaat pada lingkungan, ekonomi maupun kesehatan maternal. WHO merekomendasikan menyusui secara eksklusif (hanya ASI, obat-obatan maupun supplement mikronutrien tanpa  makanan cair/padat yang lain) hingga 6 bulan pertama. Kajian global telah membuktikan bahwa pemberian ASI eksklusif merupakan intervensi kesehatan yang memiliki dampak terbesar terhadap keselamatan balita, yakni 13% kematian balita dapat dicegah dengan pemberian ASI eksklusif 6 bulan. Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dapat mencegah 22% kematian neonatal (neonatus adalah bayi usia 0 sampai 28 hari) (Jones et al., 2003 dalam Kemenkes RI. 2010).
Meskipun praktek pemberian ASI eksklusif memiliki banyak keuntungan, fakta riil dilapangan membuktikan capaian ASI Eksklusif masih rendah. Hasil Riskesdas 2010 menunjukkan penurunan persentase bayi yang menyusu eksklusif sampai dengan 6 bulan hanya 15,3%. Pemberian ASI kurang dari 1 jam setelah bayi lahir tertinggi di Nusa Tenggara Timur (56,2%) dan terendah di Maluku (13%). Angka ini masih jauh dari target yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Capaian angka tersebut sama persis dengan hasil studi penelitian Di Amerika yang menyatakan bahwa sebanyak 85% ibu yang menginginkan bayinya disusui secara eksklusif, namun hanya 15% ibu yang berhasil mencapai pemberian ASI Eksklusif hingga 6 bulan (Perrine et al, 2012) dan Hasil survey nasiona kesehatan anak di AS hanya mendapatkan angka  16.8% yang menyusui secara eksklusif (Jones JR et al, 2011). Hasil penelitian kohort di Canada menyatakan 64,1% dari 4433 ibu yang berkeinginan menyusui, hanya 10.4% yang berhasil menyusui secara eksklusif 6 bulan. Hasil berbeda didapatkan dari hasil studi di Srilangka oleh Perera et al (2012) capaian ASI Eksklusif pada 2, 4 dan 6 bulan  masing-masing sebesar 98%, 75.4% dan 71.3% secara respectif.
Terdapat hubungan yang kuat antara penghentian awal ASI Eksklusif dengan kesenjangan sosial determinan kesehatan. Banyak studi menyatakan memperkuat hubungan ini diantaranya  praktek menyusui yang buruk, rendahnya tingkat pendidikan maternal ibu, pengasuh tunggal (single parent), rendahnya tingkat ekonomi dan lokasi tempat tinggal. Pada studi tersebut menemukan selain faktor determinan social diatas, terdapat faktor modifikasi lain yang potensial diantaranya ketersediaan peluang menyusui dini sebagai bagian rutin dari perawatan post partum, penghentian aktifitas merokok ibu serta pengurangan obesitas juga turut berkontribusi terhadap lama durasi ASI Eksklusif  (Brown et al, 2013). Sedangkan Parera et al (2012) menyatakan bahwa penghentian ASI Eksklusif terbanyak pada bulan kedua dan keempat dengan penyebab utama status ibu yang bekerja, kecemasan maternal tentang kecukupan ASI dan gagal tumbuh. Penelitian ini juga menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara edukasi maternal dengan ASI Eksklusif.
Hasil NSCH survey 2007 yang dilaporkan oleh Jones JR et al (2011) menyatakan bayi yang diasuh oleh kedua orang tua (biologis) akan cenderung disusui (80.4%) dibanding dengan anak dengan tipe pengasuh yang lain. Bayi dengan berat badan lahir ≥ 2500gr lebih tinggi capaian ASI Eksklusif dibanding bayi dengan berat badan lahir dibawahnya.
Cakupan ASI eksklusif pada kelompok ibu usia ≥ 30 tahun lebih tinggi dari pada kelompok umur dibawahnya. Status ekonomi yang rendah juga cenderung cakupan ASI ekklusif yang rendah pula. Tempat tinggal ibu tidak berbeda secara signifikan terhadap capaian ASI Eksklusif, namun ibu yang tinggal di area kota/metropolitan cenderung menghasilkan angka capaian yang tinggi (17%) dibanding diluar area metropolitan (15.7%). Terdapat hubungan yang signifikan antara ras dan keinginan ASI Eksklusif. Studi ini juga menemukan terdapat hubungan yang signifikan antara status mental ibu dengan ASI Eksklusif 6 bulan tapi tidak signifikan dengan keinginan menyusui.
Studi penelitian kohort oleh Ayton Jenifer et al (2013) menyatakan bahwa kelahiran premature (Late pre term) merupakan prediksi kegagalan menyusui. Bayi yang dilahirkan premature (kehamilan 340/7-366/7 minggu) mempunyai resiko lebih besar untuk tidak memiliki keinginan menyusui secara eksklusif di rumah sakit dibandingkan dengan bayi dengan kehamilan 37 minggu. Hal ini dikarenakan bayi yang dilahirkan dalam kondisi late preterm meningkatkan resiko mortalitas dan morbiditas dengan outcome (hipoglikemi, hipotermi, jaundice, tertundanya  oral feeding, keluar rumah sakit, trancient tachypneu, serta tertundanya perkembangan mental.
Berdasarkan kajian beberapa jurnal penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan praktek menyusui secara ASI Eksklusif diantaranya faktor demografi seperti ras, umur ibu, pendidikan ibu/maternal serta status social ekonomi. Sedangkan faktor biologis seperti fisiologis bayi late preterm, berat badan lahir, obesitas maternal obesitas dan perubahan fisik menyusui, perokok maternal, dan paritas. Sedangkan variable social bisa muncul karena status ibu bekerja dan adanya support keluarga terdekat. Variabel terakhir yakni variable psikologis diantaranya keinginan ibu untuk menyusui, dan kepercayaan ibu selama menyusui juga penting dalam menentukan keberhasilan ASI Eksklusif dan lama durasi menyusui.


Referensi :
Ayton Jenifer et al, 2013. Factors Associated With Initiation and Exclusive Breastfeeding at Hospital Discharge: Late Preterm Compared to 37 Week Gestation Mother and Infant Cohort.
Brown et al, 2013. Rates and Determinant of Exclusive Breastfeeding in First 6 Month among Woman in Nova Scotia : a Population-Based Cohort Study. Canadian Medical Association or its Licensors
Jones JR et al, 2011. Factors Associated with Exclusive Breastfeeding in The United States. Pediatric. 2011;128;1117
Parera et al, 2012. Actual Exclusive Breasfeeding Rate and Determinants among a Cohort of Children Living in Gampaha District Sri Langka: A Prospective Observational Study . International Breasfeeding Journal.
Perrine et al, 2012. Baby-Friendly Hospital Practices and Meeting Exclusive Breastfeeding Intention. Pediatric 2012; 130; 54.
Kemenkes RI, 2010.  STRATEGI PENINGKATAN MAKANAN BAYI DAN ANAK (PMBA). Jakarta

Senin, 11 Februari 2013


SEHAT DAN BUGAR SAAT BERPUASA
Oleh Ulfatun Khasanah S.Gz

Sebagai muslim yang sejati, kedatangan dan kehadiran Ramadhan yang mulia pada tahun ini merupakan sesuatu yang amat membahagiakan kita. Betapa tidak, dengan menunaikan ibadah Ramadhan, amat banyak keuntungan yang akan kita peroleh, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Disinilah letak pentingnya bagi kita untuk membuka tabir rahasia puasa sebagai salah satu bagian terpenting dari ibadah Ramadhan.
Tak jarang kebiasaan pada bulan puasa terjadi konsumsi pangan yang berlebihan terutama saat berbuka sehingga tanpa disadari terjadi kegemukan, peningkatan kolesterol dan tekanan darah. Kemudian pada akhir bulan Ramadhan dan idul fitri terjadi lonjakan pasien di Rumah Sakit atau tempat berobat karena berbagai penyakit gangguan pencernaan dan infeksi tenggorokan yang diakibatkan cara makan yang tidak baik di bulan Ramadhan. Keadaan tersebut bertolak belakang dengan Firman Allah surat albaqarah ayat 184, Bahwa puasa akan beranfaat bagi orang yang mengetahuinya.
Untuk itu mari kita pahami kiat-kiat sederhana agar tetap sehat dan bugar menjelang puasa, ketika berpuasa dan setelah berpuasa :
Pahami  kesehatan tubuh
Kalau hanya sakit ringan seperti flu dan batuk sebaiknya diteruskan berpuasa. Apabila sakit dalam kondisi tertentu sebaiknya konsultasikan dengan dokter dan ahli gizi. Dalam banyak kasus orang dengan sakit (Maag, hipertensi,hiperkolesterol dan Diabetes) yang tetap melaksanakan ibadah puasa, mereka mendapat  manfaat dan berkahpenyembuhan dari puasa.
Makan sahur mendekati imsyak
Hindari makan sahur lebih dini karena akan memperpanjang masa lapar dan memperparah rasa lapar keesokan harinya. Makanlah sesuai kebutuhan tubuh anda jangan terlalu sedikit atau jangan berlebihan. Makanlah makan dengan komposisi gizi yang seimbang yang terdiri dari karbohidrat (Zat gizi sumber tenaga), Protein baik dari hewani maupun nabati (Zat gizi Pembangun), serta sayuran dan buah-buahan sebagai sumber vitamin dan mineral. Minum 2-4 gelas air minum. Sebaiknya hindari menu sahur makanan yang digoreng (termasuk kerupuk), makanan yang asin (termasuk ikan asin) dan makanan yang dibuat dari tepung seperti mi, roti, dan biscuit. Makanan ini akan meningkatkan rasa dahaga ketika berpuasa.
Berbuka Sedini Mungkin
Berbuka tepat waktu dengan cara yang benar akan mempercepat pengembalian energy tubuh yang lapar dan lelah pada siang hari. Sebaiknya,  berbukalah dengan buah-buahan segar yang manis (seperti kurma, melon, anggur, papaya, mangga, jeruk dan buah lainnya), bisa juga berupa jus buah disertai minum air putih dan camilan kecil lainnya yang mengandung karbohidrat. Sebaiknya ketika berbuka tidak dilanjutkan dengan makanan utama untuk memberikan kesempatan bagi organ pencernaan secara perlahan membuat penyesuaian, selain untuk memberikan energy (tenaga) yang cukup  bagi organ pencernaan untuk bekerja mencerna santapan malam.
Utamakan aneka makanan yang padat gizi. Frekuensi  makan selama puasa berkurang dan kapasitas tubuh untuk menerima makanan juga berkurang sekitar 10-20  agar kebutuhan giz tetap terpenuhi,.makanlah makanan padat gizi dari beraneka jenis pangan ,meliputi makanan pokok,  lauk-pauk,sayur,dan buah. Makanan gorengan,tumis,dan yang terbuat dari tepung—tepungan (mi dan roti) sebaiknya disajikan pada makan malam atau selingan malam, bukan pada saat makan sahur. Makanan kaya serat (sayuran)sebaiknya lebih banyak dimakan pada saat sahur.
Hindari makanan dan minuman serba “terlalu”
Bumbu-bumbu penting untuk menggugah selera, tetapi jangan berlebihan. Hindari makanan yang terlalu pedas, tidak terlalu asin, tidak terlalu asam , tidak terlalu manis , tidak terlalu panas dan tidak terlalu dingin. Makanan-makanan yang serba “terlalu” ini ini tidak baik bagi organ pencernaan selama puasa dan akan meningkatkan rasa dahaga.
Atur kegiatan dan istirahat.
Istirahat perlu dilakukan terutama pada siang atau sore hari dan malam hari setelah ibadah malam. Hindari kegiatan olah raga berat atau kegiatan yang menguras banyak keringat , agar tidak mengalami dahaga yang berlebihan (Dehidrasi), Bagi yang biasa olahraga, lakukan olahraga ringan pada pagi hari sebelum  matahari terbit atau sore hari yang terlindung dari terik matahari
Hindari tidur setelah sahur
Segera tidur setelah makan sahur tidak baik bagi kesehatan . Tidur setelah makan membuat sulit bangun, perut tidak nyaman dan tubuh terasa lelah ketika bangun. Manfaatkan kesempatan setelah subuh untuk beribadah, berolahraga ringan, atau beraktifitas seperti biasa
Timbanglah berat badan
Orang yang melaksanakan puasa dengan benar dan tidak memperbayak istirahat , akan mengalami penurunan berat badan.  Penurunan dapat mencapai 10% dari berat badan sebelum puasa ata sekitar 2-6 kg. Bagi yang berbadan kurus, sebaiknya menimbang berat badan setiap 10 hari guna mewaspadai penurunan berat badan berlebihan.        
Kesehatan merupakan nikmat yang tidak dapat dinilai dengan harta benda. Untuk menjaga kesehatan, tubuh perlu diberikan kesempatan untuk istirahat. Puasa, yang mensyaratkan untuk tidak makan, minum, dan melakukan perbuatan-perbuatan lain yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani.
Puasa dapat mencegah penyakit yang timbul karena pola makan yang berlebihan. Makanan yang berlebihan gizi belum tentu baik untuk kesehatan seseorang. Kelebihan gizi atau overnutrisi mengakibatkan kegemukan yang dapat menimbulkan penyakit degeneratif seperti kolesterol dan trigliserida tinggi, jantung koroner, kencing manis (diabetes mellitus), dan lain-lain.
Pengaruh mekanisme puasa terhadap kesehatan jasmani meliputi berbagai aspek kesehatan, diantaranya yaitu :
  • Memberikan kesempatan bagi alat pencernaan untuk beristirahat.
  • Membebaskan tubuh dari racun, kotoran, dan ampas yang merusak kesehatan.
  • Memblokir makanan untuk bakteri, virus, dan sel kanker sehingga kuman-kuman tersebut tidak bisa bertahan hidup.
  • Menambah jumlah sel darah putih dan meningkatkan daya tahan tubuh. Pada minggu pertama puasa belum ditemukan pertumbuhan sel darah putih. Namun, mulai hari ketujuh (minggu kedua), penambahan sel darah putih pesat sekali. Darah putih merupakan unsur utama dalam sistem pertahanan tubuh.
  • Menyeimbangkan kadar asam dan basa dalam tubuh.
  • Memperbaiki fungsi hormon yang diperlukan dalam berbagai proses fisiologis dan biokimia tubuh. Hormon dikeluarkan oleh kelenjar endokrin dan hipofisis sebagai reaksi tubuh terhadap berbagai tekanan dan stres lingkungan. Kekurangan atau kelebihan produksi hormon tertentu akan berdampak buruk pada kesehatan tubuh. Misal ketika mengalami stres, hormon insulin dan adrenalin yang mengatur waktu lapar terganggu sehingga nafsu makan hilang atau bahkan datang lebih cepat. Kekurangan produksi hormon insulin berakibat munculnya penyakit diabetes, sedangkan bila berlebihan tubuh akan menderita hiperglikemia. Pada saat puasa orang akan bersabar dan berusaha menahan amarah dan senantiasa pasrah pada Tuhan. Hal itu akan membuat fungsi hormon berjalan normal sehingga irama hidup lebih harmonis.
  • Meremajakan sel-sel tubuh. Ketika kita berpuasa, organ tubuh berada pada posisi rileks, sehingga mempunyai kesempatan untuk memperbarui sel-selnya.
  • Meningkatkan fungsi organ tubuh. Puasa akan memberikan rangsangan terhadap seluruh sel, jaringan, dan organ tubuh. Efek rangsangan ini akan menghasilkan, memulihkan, dan meningkatkan fungsi organ sesuai fungsi fisiologisnya, misalnya panca indra menjadi lebih tajam.
  • Puasa meningkatkan fungsi organ reproduksi. Hal ini terkait dengan peremajaan sel-sel yang berpengaruh pada sel-sel urogenitalis dan alat-alat reproduksi lainnya. Hormon yang berkaitan dengan masalah perilaku seksual tidak hanya dihasilkan oleh organ indung telur (estrogen) dan testis (testosteron), tetapi juga oleh kelenjar hipofisis.
Referensi :
1.    Hardinsyah. 2007.  Powerfull Shaum Sehat dan Bugar. MQ Publising. Bandung

2.    Dewanti et al. 2006. Unexpected changes in blood pressure and hem Unexpected changes in blood pressure and hematological parameters among fasting and nonfasting workers during Ramadan in Indonesia. European Journal of Clinical Nutrition60. 7 (Jul 2006): 877-81.

3.    Trabelsi, Khaled et al, 2011. Effects of Ramadan Fasting on Biochemical and Anthropometric Parameters in Physically Active Men. Asian Journal of Sports Medicine



PROGRAM PEMBERIAN KAPSUL VITAMIN A PADA IBU NIFAS
Oleh Ulfatun Khasanah S.Gz

A.   Latar Belakang
Kekurangan vitamin A (KVA) masih merupakan masalah yang tersebar diseeluruh dunia terutama di Negara berkembang dan dapat terjadi pada semua umur terutama pada masa pertumbuhan. KVA sendiri juga termasuk salah satu masalah gizi utama di Indonesia yang perlu mendapat perhatian untuk penanggulangannya. KVA dalam tubuh dapat menimbulkan berbagai jenis penyakit yang merupakan “ Nutrition Related Diseases “  yang dapat mengenai berbagai macam anatomi dan fungsi organ tubuh seperti menurunkan epitelisme sel-sel kulit. Salah satu dampak kekurangan vitamin A adalah kelainan pada mata yang umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan – 4 tahun yang menjadi penyebab utama kebutaan di Negara berkembang.
Dalam sidang World Health Assembly ke 59 di Genewa, Mei 2006, dibahas berbagai isu penting diantaranya mengenai masalah nutrisi bayi dan balita serta pemberantasan kebutaan yang masih menjadi masalah dunia , dengan penyebab terbanyak adalah katarak dan trachoma. Di Indonesia, xeroftalmia masih menjadi penyebab kebutaan yang disebabkan kekurangan vitamin A.
Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius. Meskipun hasil survey Xeroftalmia (1992) menunjukkan bahwa berdasarkan criteria WHO secara klinis KVA di Indonesia sudah tidak menjadi masalah masyarakat (< 0.5%). Namun, pada survey yag sama menunjukkkan bahwa 50% balita masih menderita KVA sub klinis (serum retinol <20 ug/dl). Hal tersebut seyogyanya menjadi perhatian kita bahwa separuh dari jumlah balita di Indonesia masih terancam kebutaan karena KVA. Selain itu, cakupan vitamin A pada wilayah tertentu masih dibawah target nasional (<80%). Keadaan ini juga karena masih kurangnya kegiatan KIE tentang vitamin A.
Ibu nifas yang cukup mendapatkan vitamin A akan meningkat kandungan vitamin A dalam air susu ibu (ASI), sehingga bayi yang disusui lebih kebal terhadap penyakit. Disamping itu, kesehatan ibu lebih cepat pulih. Upaya perbaikan status vitamin A harus dimulai sedini mungkin pada masa kanak-kanak terutama anak yang menderita KVA.
Berdasarkan latarbelakang diatas, kami akan mengkaji lebih dalam tentang pemberian vitamin A pada ibu nifas.
B.    Tujuan
Mengetahui alternatif cara pemberian vitamin A pada ibu nifas

C.   Pembahasan
Sekitar 1000 wanita meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di seluruh dunia. Kekurangan Vitamin A juga mempengaruhi sekitar 19 juta ibu hamil di sebagian besar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) wilayah Afrika dan Asia Tenggara. Vitamin A berperan penting dalam penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan fisik, serta fungsi kekebalan tubuh. Defisiensi vitamin A meningkatkan risiko buta senja dan kondisi mata lainnya seperti xerophthalmia. Negara-negara Anggota minta panduan dari WHO mengenai dampak dan keselamatan suplemen vitamin A untuk wanita postpartum sebagai strategi kesehatan masyarakat (WHO, 2011). 
Kekurangan Vitamin A juga masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di kalangan perempuan dan  anak-anak, diperkirakan mempengaruhi 190 juta anak-anak usia prasekolah dan 19 juta wanita hamil (WHO. 2009), dengan beban tertinggi ditemukan di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) wilayah Afrika dan Asia Tenggara. Selama menyusui, vitamin A sangat penting untuk kesehatan ibu (Food and Nutrition Board. 2001). Asupan nutrisi vitamin A yang direkomendasikan untuk wanita postpartum adalah 850 ug retinol setara (RE)/hari (WHO, FAO. 2004), yang kemungkinan sulit untuk dicapai melalui diet saja di beberapa daerah. Diet sumber provitamin A termasuk sayuran seperti wortel, labu, pepaya dan minyak sawit merah; makanan hewani kaya preformed vitamin A adalah produk susu (susu, utuh yogurt, keju), hati, minyak ikan dan ASI (Food and Nutrition Board. 2001 and WHO, FAO. 2004).
Bayi biasanya dilahirkan dengan cadangan vitamin A dalam tubuh yang rendah. ASI yang dihasilkan oleh ibu degan status gizi yang baik kaya akan vitamin A dan merupakan sumber terbaik untuk bayi (WHO, 1998).  Oleh karena itu, ibu dianjurkan untuk menyusui secara eksklusif selama 6 bulan pertama postpartum. Konsentrasi vitamin A dalam ASI tertinggi adalah dalam 21 hari pertama pasca persalinan, yaitu, pada kolostrum dalam 4-6 hari pertama dan pada susu transisi dalam 7-21 hari ke depan (Newman V. 1993). Di negara industri, konsentrasi vitamin A biasanya tetap stabil selama sisa laktasi (Stoltzfus R, Underwood BA. 1995).
Di daerah di mana kekurangan vitamin A umum terjadi, ibu dapat menghasilkan ASI
dengan konsentrasi vitamin A lebih rendah (
Newman V. 1993). Namun, jika seorang ibu tidak dapat memenuhi kebutuhan vitamin A yang meningkat selama menyusui melalui diet, tubuhnya akan mencoba untuk mengkompensasi rendahnya tingkat vitamin A dalam ASI dengan membongkar cadangan vitamin A di hati (Allen LH, Haskell M. 2001) Vitamin A berperan penting dalam penglihatan, pertumbuhan dan perkembangan fisik, dan fungsi kekebalan tubuh, dan defisiensi vitamin A meningkatkan risiko buta senja dan kondisi mata lainnya seperti xerophthalmia (Sommer A, West KP Jr. 1996), terutama pada saat tingkat penyakit menular yang tinggi dan / atau selama musim sumber makanan kaya vitamin A yang langka (Underwood BA. 1998).
Terdapat perbedaan hasil penelitian efek sederhana pada retinol ASI dan rendahnya efek pada retinol serum ibu dan bayi antara wanita Indonesia dan Bangladesh. Di Indonesia (Stoltzfus et al. 1993), dosis tunggal 300 000 IU diberikan 1-3 minggu postpartum mampu meningkatkan serum retinol ibu dan retinol ASI, dan simpanan bayi hingga 6 bulan. Di Bangladesh (Rice et al. 1999), dosis tunggal vitamin A 200 000 IU pada postpartum tidak memiliki efek pada serum retinol ibu, tetapi memiliki efek menguntungkan pada MRDR ibu dan retinol ASI, yang diikuti oleh efek pada serum retinol dan MRDR bayi pada usia 6 bulan. Sedangkan penelitian dari Zimbabwe Pemberian vitamin A 400 000 IU kepada ibu dalam 96 jam postpartum tampaknya meningkatkan serum retinol antara ibu tidak terinfeksi HIV (Malaba et al. 2005).
Pemberian vitamin A dosis 400 IU 000 pada postpartum yang diberikan sekaligus, gagal untuk meningkatkan kadar serum retinol ibu, namun sedikit meningkat konsentrasi retinol ASI. Namun, hal ini tidak diikuti oleh efek pada status serum retinol bayi. Melengkapi bayi dengan pemberian vitamin A 100 000 IU pada minggu ke 14 mampu meningkatkan deposit vitamin A yang diukur dengan tes MRDR, tetapi tidak memiliki efek pada serum retinol bayi (Ross, 2002 dalam Ayah, RA et al, 2007)
Berdasarkan Guidelines WHO  terbaru (2011) menyatakan bahwa suplementasi vitamin A pada wanita postpartum tidak direkomendasikan sebagai intervensi kesehatan masyarakat untuk pencegahan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi (rekomendasi kuat). Bukti yang tersedia dinilai rendah atau sangat rendah. Wanita pasca melahirkan harus didorong untuk menerima nutrisi yang cukup, yang terbaik dicapai melalui konsumsi diet sehat dan seimbang, mengacu pada pedoman makan sehat selama menyusui (WHO Regional Office for Europe. 2001).
Asupan makanan ibu merupakan faktor penentu penting dari konsentrasi vitamin A pada ASI dan status vitamin A seorang bayi (Newman V. 1993 dan Haskell MJ. 1999). Program seperti suplementasi ibu nifas, diversifikasi makanan dan fortifikasi makanan dengan vitamin A telah digunakan untuk meningkatkan status vitamin A ibu nifas dan untuk meningkatkan kandungan vitamin A ASI (Stolzfus RJ, Humphrey JH. 2002) Ini melindungi cadangan vitamin A pada perempuan menyusui, selama ada masalah asupan vitamin A rendah pada ASI (Miller M et al. 1999). Suplemen vitamin A sebagian besar ditoleransi dengan baik oleh ibu nifas (Liff PJ et al. 1999); Namun, suplemen ibu dengan dosis tinggi (lebih dari 500.000 IU) dapat memiliki efek samping seperti mual, sakit kepala, muntah, demam, peningkatan tekanan cairan serebrospinal, penglihatan kabur, mengantuk dan kurangnya koordinasi otot (Bauernfeind JC. 1980). Namun, gejala-gejala ini umumnya bersifat sementara tanpa efek jangka panjang yang merugikan (Underwood BA. 1984).
Top of Form
Mikronutrien atau dosis rendah vitamin A dimulai setiap saat selama periode postpartum (dalam waktu 24 jam dari melahirkan sampai 6 minggu setelah melahirkan). Penelitian pada ibu yang berpenghasilan rendah di India, Bangladesh, Indonesia, Tanzania, Gambia, Zimbabwe, Kenya, Ghana, dan Peru. Perempuan cenderung memiliki vitamin A level rendah serta status gizi rendah. Studi 1 mempelajari kematian ibu postpartum dievaluasi pada 12 bulan dan melaporkan tidak ada efek signifikan pemberian 400 000 IU vitamin A dalam waktu 24-96 jam melahirkan (rasio hazard (HR) 1,11, 95% confidence interval (CI) 0,81-1,51). Hanya satu studi yang dinilai efek samping dan tidak menemukan perbedaan dalam kejadian muntah dalam waktu 30 jam dari pemberian dosis tunggal 400 000 IU vitamin A atau placebo (Rasio risiko (RR) 0,33, 95% CI 0,03-3,14). Empat percobaan melaporkan tidak ada perbedaan secara keseluruhan di kematian bayi setelah suplementasi vitamin A dibandingkan dengan plasebo (RR1,14, 95% CI 0,84-1,57) (WHO, 2011).

D.   Kesimpulan dan Saran
1.    Kebijakan pemberian suplementasi vitamin A sebagai bagian dari intervensi kesehatan masyarakat untuk pencegahan morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi hendaknya dikaji ulang mengingat hasil konsensus terbaru yang dikeluarkan melalui guidelines WHO tentang pemberian suplementasi vitamin A pada wanita post partum memiliki bukti yang lemah/sangat lemah.
2.    Wanita post partum lebih diarahkan untuk mengkonsumsi makanan dengan diit seimbang untuk ibu menyusui
3.    Dalam membuat kebijakan harus berdasarkan konsekuensi penting terkait peningkatan status vitamin A pada bayi dan ibu nifas, manfaat maternal (morbiditas dan mortalitas), keamanan serta efektifitas biaya (Cost Effectiveness)





DAFTAR PUSTAKA

Ayah, RA et al, 2007. The effects of maternal and infant vitamin A supplementation on vitamin A status: a randomised trial in Kenya. British Journal of Nutrition (2007), 98, 422–430

WHO. 2009. Global prevalence of vitamin A deficiency in populations at risk 1995–2005. WHO Global Database on Vitamin A Deficiency. Geneva, World Health Organization
(http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241598019_eng.pdf, accessed 27 May 2011).

Gogia S and Sachdev HS. 2010. Maternal postpartum vitamin A supplementation for the prevention of mortality and morbidity in infancy: a systematic review of randomized controlled trials. International Journal of Epidemiology 2010;39:1217–1226

Christian, Parul. 2010. Commentary: Postpartum vitamin A supplementation and infant mortality. International Journal of Epidemiology 2010;39:1227–1228

Gogia S and Sachdev HS. 2010. Response to the commentary: Postpartum vitamin A supplementation and infant mortality.  International Journal of Epidemiology 2010;39:1394–1401

Food and Nutrition Board, Institute of Medicine. 2001. Vitamin A. In: Dietary reference intakes for vitamin A, vitamin K, arsenic, boron, chromium, copper, iodine, iron, manganese, molybdenum, nickel, silicon, vanadium,and zinc. Washington, DC, National Academy Press:82–146.

WHO, FAO. 2004. Vitamin and mineral requirements in human nutrition, 2nd ed. Geneva, World Health Organization
(http://www.who.int/nutrition/publications/micronutrients/9241546123/en/index.html, accessed 25 May2011).

WHO, 1998. Micronutrient Initiative. Safe vitamin A dosage during pregnancy and lactation. Recommendations and report of a consultation. Geneva, World Health Organization
(http://www.who.int/nutrition/publications/micronutrients/vitamin_a_deficieny/WHO_NUT_98.4/en/index.html, accessed 27 May 2011).

Newman V. 1993. Vitamin A and breastfeeding: a comparison of data from developed and developing countries. San Diego, Wellstart International.

Stoltzfus R, Underwood BA. 1995. Breastmilk vitamin A as an indicator of vitamin A status of women and infants. Bulletin of the World Health Organization, 59(suppl):517S–24S
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2486808/pdf/bullwho00409-0137.pdf, accessed May 2011)

Allen LH, Haskell M. 2001. Vitamin A requirements of infants under six months of age. Food and Nutrition Bulletin, 22:214–234.

Sommer A, West KP Jr. 1996. Vitamin A deficiency: health, survival and vision. New York, Oxford University Press,

Underwood BA. 1998. Prevention of vitamin A deficiency. In: Howson C, Kennedy E, Horwitz A, eds. Prevention of micronutrient deficiencies: tools for policy makers and public health workers. Washington, DC, National Academy Press :103–166.

WHO. 2011. Guideline: Vitamin A supplementation in postpartum women. World Health
Organization.

Rice AL, Stoltzfus RJ, de Francisco A, Chakraborty J, Kjolhede CL & Wahed MA (1999) Maternal vitamin A or beta-carotene supplementation in lactating Bangladeshi women benefits mothers and infants but does not prevent subclinical deficiency. J Nutr 129, 356–365.

Ross DA (2002) Recommendations for vitamin A supplementation. J Nutr 132, Suppl., 2902S–2906S.

Stoltzfus RJ, Hakimi M, Miller KW, et al. (1993) High dose vitamin A supplementation of breast-feeding Indonesian mothers: effects on the vitamin A status of mother and infant. J Nutr 123, 666–675.

Malaba LC, Iliff PJ, Nathoo KJ, et al. (2005) Effect of postpartum maternal or neonatal vitamin A supplementation on infant mortality among infants born to HIV-negative mothers in Zimbabwe. Am J Clin Nutr 81, 454–460.

WHO Regional Office for Europe. 2001. Healthy eating during pregnancy and breastfeeding. Copenhagen, WHO Regional Office for Europe, (http://www.euro.who.int/__data/assets/pdf_file/0020/120296/E73182.pdf, accessed 27 May 2011).

Haskell MJ, Brown KH. 1999 Maternal vitamin A nutriture and the vitamin A content of human milk. Journal of Mammary Gland Biology and Neoplasia, 4:243–257.

Stolzfus RJ, Humphrey JH. 2002. Vitamin A and the nursing mother-infant dyad: evidence for intervention. Advances in Experimental Medicine and Biology, , 503:39–47.

Miller M et al. Why do children become vitamin A deficient? Journal of Nutrition, 2002, 132:2867S–2880S.

Iliff PJ et al. Tolerance of large doses of vitamin A given to mothers and their babies shortly after delivery. Nutrition Research, 1999, 19:1437–1446.

Bauernfeind JC. The safe use of vitamin A: a report of the International Vitamin A Consultative Group (IVACG). New York, Nutrition Foundation, 1980.

Underwood BA. Vitamin A in animal and human nutrition. In: Sporn MB, Roberts AB, Goodman DS, eds. The retinoids. Vol 1. New York, Academic Press, 1984:281–392.