Rabu, 13 Juni 2012

PERAN AHLI GIZI RUMAH SAKIT


PERAN AHLI GIZI RUMAH SAKIT
Oleh : ULFATUN KHASANAH

Kesehatan dan gizi merupakan faktor penting karena secara langsung berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Untuk itu, diperlukan upaya peningkatan status gizi masyarakat melalui perbaikan gizi, baik dalam lingkup keluarga maupun pelayanan gizi individu yang sedang dirawat di Rumah Sakit (RS). Pelayanan gizi di RS merupakan hak setiap orang dan memerlukan pedoman agar tercapai pelayanan yang bermutu. Pelayanan bermutu yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dibidang kesehatan. Misalnya terapi gizi medis yang merupakan kesatuan dari asuhan medis, asuhan keperawatan dan asuhan gizi hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan (Direktorat Gizi Masyarakat, 2003)
Sesuai dengan keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 1333/Menkes/SK/XII/1999, maka pelayanan gizi Rumah Sakit (PGRS) adalah salah satu dari 20 pelayanan wajib RS. PGRS adalah kegiatan pelayanan gizi di Rumah Sakit untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, baik rawat inap maupun rawat jalan, untuk kepentingan metabolisme tubuh, dalam rangka upaya preventif, kuratif , rehabilitatif maupun promotif. Instalasi gizi merupaka organ fungsional dalam jajaran direktorat penunjang dan pendidikan dengan kegiatan pokok yang meliputi penyelenggaraan makanan, asuhan gizi rawat inap, asuhan gizi rawat jalan dan penelitian pengembangan gizi terapan (Aritonang, 2009).
Ruang lingkup kegiatan manajemen asuhan gizi meliputi sub instalasi Pelayanan Gizi Ruang Rawat (PGRR) dan Subinstalasi pendidikan, penyuluhan, Konsultasi dan Rujukan Gizi (PPKR). Sedangkan peran ahli gizi dalam penyelenggaraan makanan sangat diperlukan antara lain dalam penentuan kecukupan gizi, perencanaan menu, hingga menentukan indikator mutu. Selain itu, juga melakukan pengawasan kualitas dan kuantitas makanan sesuai mutu dan spesifikasi, serta menganalisis harga makanan (Aritonang, 2009).
Proses pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan terdiri atas empat tahap, yaitu : 1) Assesment atau pengkajian gizi; 2) Perencanaan pelayanan gizi dengan menetapkan tujuan dan strategi; 3) Implementasi pelayanan gizi sesuai rencana; 4) Monitoring dan evaluasi pelayanan gizi (Almatsier, 2004).
Pelayanan gizi di rumah sakit menduduki tempat yang sama penting dengan pelayanan lain seperti pelayanan pengobatan, perawatan medis dan sebagainya yang diberikan untuk penyembuhan penyakit. Bentuk pelayanan gizi rumah sakit akan bergantung pada tipe rumah sakit, macam pelayanan spesialistis yang diberikan di rumah sakit tersebut (Moehji, 2003).
Pelaksanaan terapi gizi medis harus komprehensif, proporsional dan dinamis mengikuti perkembangan kondisi klinis pasien. Dalam hal ini diperlukan kerjasama yang baik antara dokter, nutrisionis/dietisen, perawat dan tenaga kesehatan lain yang  terkait dengan pelaksanaan tim asuhan gizi di rumah sakit/puskesmas (Depkes RI, 2003).
Pelayanan gizi yang lengkap (yang) umumnya diselenggarakan di rumah sakit tipe A, tipe B dan beberapa rumah sakit tipe C terdiri dari :
1)      Penyediaan, pengelolaan dan penyaluran makanan bagi penderita, baik makanan biasa maupun makanan diet
2)      Pelayanan gizi di ruang perawatan, terutama untuk melayani pasien yang memerlukan makanan khusus atau diet khusus
3)      Pelayanan konsultasi gizi, baik bagi penderita rawat jalan maupun penderita rawat tinggal
4)      Berbagai kegiatan penelitian untuk mengembangkan teknologi penyembuhan penyakit melalui pengaturan makanan dan aspek-aspek lain dari pelayanan gizi; dan
5)      Pendidikan bagi tenaga paramedis terutama yang bertugas di ruang perawatan bertalian dengan kegiatan pelayanan gizi di ruang perawatan (Moehji, 2003).

Dalam aplikasinya, para ahli gizi bisa menerapkan beberapa model pelayanan gizi, yang bisa diaplikasikan di rumah sakit maupun masyarakat, namun tidak semua model pelayanan tersebut sudah standar. Minimal ada 3 model yang dipakai atau dikembangkan di institusi pelayan kesehatan yaitu sebagai berikut :
Pertama, model yang sebenarnya tidak dianjurkan dimaa setiap profesi (Dokter, perawat, Ahli gizi/Dietisen) menangani pasiennya masing-masing tanpa ada hubungan dan koordinasi antar profesi. Ahli gizi menyiapkan makanan pasien sesuai pemahamannya tanpa ada informasi mengenai keadaan pasien yang akurat dari dokter, perawat, maupun profesi lain yang terkait.
Kedua, model pelayanan gizi yang kurang lebih serupa dengan model pertama, tetapi bentuk pelayanan dilakukan oleh tim yang dikenal dengan Nutrition Support Team (NST), yang terdiri dari dokter, perawat, pharmacist (ahli obat-obatan) dan dietetion/ahli gizi. Pada model kedua ini juga belum ada koordinasi antara masing-masing profesi dalam satu pelayanan bagi pasien, namun mereka telah menerapkan pelayanan terstandar yang dikerjakan dalam satu tim. Salah satu kelemahan  dari model kedua ini adalah banyaknya profesi yang harus terlibat dalam satu pelayanan pasien. Pelayanan semacam ini umumnya diterapkan di rumah saki yang memiliki sumberdaya manusia cukup banyak. Model ini juga  sudah menerapkan proses asuhan gizi secara tim, yang dikenal dengan istilah Nutritional Care Process (NCP).
Ketiga, model yang banyak direkomendasikan, dimana aplikasi pelayanan gizi dilaksanakan dalam satu tim, dengan melibatkan dokter, perawat dan dietisen/ahli gizi. Keterlibatan masing-masing profesi dalam pelayanan ini benar-benar maksimal dan terjadi koordinasi antar profesi, sehingga dalam memutuskan bentuk pelayanan yang akan diberikan kepada pasien memiliki tujuan yang sama
Dari model ketiga tersebut muncul pola kerjasama atau kolaborasi antara tenaga gizi, dokter dan perawat dalam suatu teamwork yang seharusnya diterapkan bagi pasien . Ciri kerjasama antar kelompok kerja ini dalam menyelesaikan masalah klien adalah : koordinasi, saling berbagi, kompromi, interrelasi, saling ketergantungan atau interdependensi serta kebersamaan. Dengan demikian, diantara semua profesi harus mempunyai satu kesatuan komitmen dan kemampuan serta tanggung jawab dalam merespon masalah kesehatan. Perkembangan profesi gizi membutuhkan upaya penataan system pendidikan sehingga menghasilkan professional gizi yang mampu meningkatkan hubungan kemitraan antara dokter, perawat dan tenaga gizi dalam pengabdian kepada masyarakat dibidang kesehatan (Bakri, 2010).

Upaya  kemitraan profesi di rumah sakit bisa dihimpun salahsatunya dengan memperbanyak kajian kasus yang melibatkan tim asuhan gizi secara rutin seperti morning report, morning meeting, visite bersama/ visite besar maupun bentuk kegiatan yang lain.

Profesionalisme Ahli Gizi (Bakri, 2010)
Profesi gizi dan dietetik, disamping profesi kesehatan lain, dalam sejarahnya merupakan cabang dari profesi kedokteran. Dimasa yang akan dating, profesi gizi dituntut untuk mampu menunjukkan profesionalisme yang lebih tinggi bila ingin ditempatkan sejajar dengan profesi lain.
Profesi gizi, sebagai profesi kesehatan terdiri dari para anggotanya yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut  :
1)      Mengembangkan pelayanan yang unik kepada masyarakat
2)      Anggota-anggotanya dipersiapkan melalui suatu program pendidikan
3)      Memiliki serangkaian pengetahuan ilmiah
4)      Anggota-anggotanya menjalankan tugas profesinya sesuai kode etik yang berlaku
5)      Anggota-anggotanya bebas mengambil keputusan dalam menjalankan profesinya
6)      Anggota-anggotanya wajar menerima imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan
7)      Memiliki suatu organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh para anggota.
8)      Pekerjaan tersebut adalah sumber utama seumur hidup
9)      Berorientasi pada pelayanan dan kebutuhan objektif
10)  Otonomi dalam melakukan tindakan
11)  Melakukan ikatan profesi dan lisensi jalur karir
12)  Mempunyai kekuatan dan status dalam pengetahuan spesifik
13)  Altruism (memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi)

Ahli gizi dan ahli madya gizi, sebagai pekerja profesional harus memiliki persyaratan seperti berikut :
1)      Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersifat khusus atau spesialis
2)      Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan tenaga professional
3)      Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat
4)      Mempunyai kewenangan yang disyahkan atau diberikan oleh pemerintah
5)      Mempunyai peran dan fungsi yang jelas dan terukur
6)      Memiliki organisasi profesi sebagai wadah
7)      Memiliki etika ahli gizi
8)      Memiliki standar praktek
9)      Memiliki standar pendidikan yang mendasarinya dan mengembangkan profesi sesuai dengan pelayanan
10)  Memiliki standar berkelanjutan sebagai wahana pengembangan kompetensi
 
Pada era globalisasi saat ini, pasar kerja membutuhkan tenaga yang mampu bekerja secara  profesional, yang menguasai kemampuan teknik (Technical competencies) dan kemampuan dalam bertingkah laku yang baik (behavioral competencies). Pada rumah sakit dibutuhkan tenaga kerja yang memiliki kriteria sebagai berikut :
a.      Mempunyai wawasan multidimensi
b.      Memiliki kemampuan untuk menggunakan sarana teknologi mutakhir (computer, internet)
c.      Mampu beradaptasi dengan lingkungan
d.      Kemampuan membangun kerjasama dalam tim
e.      Ketahanan fisik dan kepribadian yang matang
f.        Mempunyai kemampuan wirausaha (Enterpreneurship)
g.      Memiliki ketrampilan negosiasi yang baik
h.      Terampil dalam mengambil keputusan yang tepat

Namun, pada kenyataannya, para lulusan tenaga profesi kesehatan yang ada saat ini belum memuaskan masyarakat. Ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya :
a.      Pada umumnya para lulusan tersebut belum siap pakai secara teori dan praktek
b.      Rasa percaya diri yang dimiliki masih rendah
c.      Gagap teknologi
d.      Semangat juang rendah
e.      Kualitas lulusan tidak terstandar
f.        Kemampuan komunikasi rendah
g.      Sikap kerja lamban dan kurang antusias
h.      Kurang mandiri
i.         Kerjasama tim lemah

Peran, Fungsi dan Kompetensi
Tenaga gizi yang ada di Indonesia saat ini masih banyak memiliki latar belakang pendidikan Diploma 3, sedangkan pendidikan sarjana gizi baru saja dimulai. Adanya berbgai jenis tenaga gizi ini tentunya memiliki wewenang dan kompetensi yang berbeda. Keadaan ini menuntut adanya pembedaan standar profesi untuk setiap kualifikasi tersebut untuk mencegah tumpang tindih kewenangan dari berbagai profesi yang terkait dengan gizi. Selain itu, standar ini dibutuhkan dalam rangka menjaga mutu pelayanan gizi yang professional baik bagi individu maupun kelompok, dan mencegah timbulnya malpraktik gizi (Bakri, 2010).
Standar profesi gizi merupakan pedoman bagi setiap tenaga gizi dalam menjalankan tugas profesinya. Dengan demikian penyusunan standar profesi gizi di Indonesia dimaksudkan sebagai :
1)      Acuan bagi penyelenggaraan pendidikan gizi di Indonesia dalam rangka menjaga mutu gizi
2)      Sebagai acuan prilaku gizi dalam mendarmabaktikan dirinya di masyarakat
3)      Menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan gizi yang professional baik untuk individu maupun kelolpok
4)      Mencegah timbulnya malpraktek gizi  (Depkes RI, 2008)

Kompetensi dari lulusan pendidikan profesi terdiri dari 3 (Tiga) bidang materi yaitu :
1)      Bidang Dietetik (Clinical Nutrition)
2)      Bidang Penyelenggaraan Makanan (Food Service and Food Production)
3)      Bidang Gizi Masyarakat (Community Nutrition)

Pada dasarnya, terdapat 9 peran ahli gizi (dasar pendidikan S1 gizi dengan 46 kompetensi, dan 6 peran ahli madya gizi (dasar pendidikan D3 gizi) dengan 43 kompetensi. Peran Ahli Gizi di Rumah Sakit diantaranya adalah :
1) Pelaku tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik
2) Pengelola tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi di rumah sakit
3) Penyuluh/konsultan gizi
4) Pengelola sistim penyelenggaraan makanan rumah sakit  
5) Berpartisipasi bersama tim kesehatan dan lintas sektoral
6) Pelaku praktik kegizian yang bekerja secara professional dan etis
7) Pelaksana peneitian gizi

Sedangkan peran dan fungsi Ahli Madya Gizi diantaranya :
1)      Pelaku tatalaksana/asuhan/pelayanan gizi klinik
Fungsi :
a.      Mengkaji data dan mencirikan masalah gizi klinik
b.      Memberikan masukan kepada dokter tentang preskripsi diet
c.      Merancang pola diit klien berdasarkan preskripsi diet dari dokter
d.      Mengawasi pelaksanaan diit klien
2)      Penyelia sistim penyelenggaraan makanan rumah sakit
Fungsi :
a.      Mengkaji data dan mencirikan masalah SPMI
b.      Memberi masukan kepada mitra kerja tentang masalah SPMI
c.      Merencanakan pelaksanaan SPMI
d.      Mengawasi pelaksanaan SPMI
3)      Penyuluh/konsultan gizi
Fungsi :
a.      Merancang penyuluhan, pelatihan, dan konsultasi gizi
b.      Melakukan penyuluhan, pelatihan dan konsultasi gizi
4) Pelaku praktik kegizian yang bekerja secara professional dan etis
Fungsi :
a.      Melaksanakan kegiatan pelayanan gizi/praktik kegizian
b.      Memantau dan mengevaluasi pelayanan gizi/praktik kegizian

Berdasarkan kondisi dilahan, ahli gizi sudah berusaha memenuhi peran dan fungsinya sesuai kompetensi dank kode etik profesi yang dimiliki meskipun masih banyak kendala yang ditemukan diantaranya :
1)      Kurangnya tenaga/jumlah ahli gizi sehingga ahli gizi masih merangkap tugas sehingga asuhan gizi kurang berjalan maksimal
2)      Keselamatan pasien (Patient Safety) masih belum dilakukan karena masih banyak ditemukan kurang tepatnya diit yang diberikan
3)      Kegiatan skrining gizi belum dilaksanakan ke seluruh pasien sehingga terdapat kemungkinan tidak terpaparnya pasien yang seharusnya mendapat asuhan gizi karena resiko malnutrisi    
4)      Kurangnya sarana dan prasarana yang mendukung seperti pengukur tinggi badan, tinggi lutut, pengukur Lila sehingga hasil pengukuran kurang valid karena menggunakan metline biasa.
5)      Konseling gizi terkadang belum berjalan secara maksimal. Beberapa pasien yang mendapatkan lefleat masih mengaku belum mengerti dengan materi yang diberikan.
6)      Masih banyak pasien yang belum mengenal ahli gizi ruangan terutama pasien yang hanya menerima Medical Nutrition Therapy (MNT)
7)      Kompetensi dan tingkat pendidikan ahli gizi masih perlu ditingkatkan karena mayoritas tenaga masih Diploma III (Tiga) Gizi
8)      Tim asuhan gizi belum berjalan optimal

Beberapa kondisi diatas menggambarkan kurang optimalnya kegiatan asuhan gizi diruangan sehingga perlu peningkatan sarana dan prasarana yang mendukung, penambahan tenaga ahli gizi yang proporsional dengan beban kerja yang ada, peningkatan profesionalitas ahli gizi yang salahsatunya dengan meningkatkan pendidikan baik formal maupun informal (Shortcourse, seminar/symposium/work shop), kemitraan dengan profesi lain khususnya tim asuhan gizi juga perlu ditingkatkan sehingga kegiatan asuhan gizi lebih optimal dijalankan.

Kode Etik Ahli Gizi (Depkes RI, 2008)
Salah satu ciri yang menandai suatu profesi adalah mempunyai kode etik yang jelas bagi para anggotanya. Profesi gizi juga memiliki kode etik PERSAGI yang terdiri dari 7 Bab, yaitu :
Bab I. Prinsip-prinsip umum ( 9 point)
Bab II. Kewajiban terhadap klien ( 5 point)
Bab III. Kewajiban terhadap masyarakat ( 2 point)
Bab IV. Kewajiban terhadap teman seprofesi dan mitra kerja ( 3 point)
Bab V. Kewajiban terhadap profesi dan diri sendiri ( 9 point)
Bab VI. Penetapan pelanggaran ( 4 point)
Bab VII. Kekuatan kode etik ( 2 point)
            Untuk memudahkan para ahli gizi dalam memahami tentang kode etik profesi gizi, dapat ditarik tentang essensi yang terkandung dari masing-masing kewajiban yang ada, dengan menggunakan kata kunci sebagai berikut :
1.      Kewajiban terhadap Klien :
Ahli gizi, sepanjang waktu menjalankan profesinya, senantiasa berusaha untuk :
a.      Memeihara dan meningkatkan status gizi klien, baik dalam lingkup institusi pendidikan gizi maupun dalam masyarakat umum
b.      Menjaga kerahasiaan klien/masyarakat
c.      Menghormati, menghargai, tidak mendiskriminasikan
d.      Memberikan pelayanan gizi yang prima
e.      Memberikan informasi yang tepat, jelas, dan apabila tidak mampu, senantiasa berkonsultasi.
2.      Kewajiban terhadap Masyarakat :
a.      Ahli gizi, sepanjang waktu menjalani profesinya, senantiasa berusaha untuk :
b.      Melindungi masyarakat dari informasi yang keliru, dan mengarahkan kepada kebenaran
c.      Melakukan pengawasan pangan dan gizi
3.      Kewajiban terhadap Teman Seprofesi dan Mitra Kerja :
Ahli gizi, sepanjang waktu menjalani profesinya, senantiasa berusaha untuk :
a.      Bekerjasama dengan berbagai disiplin ilmu sebagai mitra kerja
b.      Memelihara hubungan persahabatan yang harmonis
c.      Loyal dan taat azaz
4.      Kewajiban terhadap Profesi dan Diri Sendiri :
Ahli gizi, sepanjang waktu menjalani profesinya, senantiasa berusaha untuk :
a.      Melindungi dan menjunjung tinggi ketentuan profesi
b.      Mengikuti perkembangan IPTEK terkini
c.      Percaya diri, menerima pendapat orang lain yang memang benar
d.      Mengetahui keterbatasan diri sendiri
e.      Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi
f.        Tidak memuji diri sendiri
g.      Memelihara kesehatan dan gizinya
h.      Bekerja untuk masyarakat umum
i.         Benar-benar melaksanakan tugas pelayanan gizi


DAFTAR PUSTAKA :

Aritonang, Irianton. 2009. Manajemen Penyelenggaraan Makanan&Asuhan Gizi. CEBios. Yogyakarta
Bakri, Bachyar dan Annasari M. 2010. Etika dan Profesi Gizi. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Depkes RI. 2003. Pedoman Praktis Terapi Gizi Medis. Jakarta
Depkes RI. 2008. Standar Profesi Gizi. Kepmenkes RI No:374/MENKES/SKIII/2007. Jakarta

Sehat dan Bersahabat dengan Diabetes


Sehat dan Bersahabat dengan Diabetes  !

By :Ulfatun Khasanah

Diabetes Mellitus (DM) atau penyakit kencing manis atau yang lebih populer disebut sebagai diabetes, adalah penyakit metabolik yang berlangsung kronik progresif dengan gejala hiperglikemia (kadar glukosa darah lebih dari normal) yang disebabkan oleh gangguan sekresi insulin, gangguan kerja insulin atau keduanya (Darmono, 2005).
Diabetes telah menjadi masalah kesehatan utama masyarakat global. Telah diperkirakan bahwa jumlah penderita diabetes di seluruh dunia adalah 285 juta tahun 2010 dan akan meningkat menjadi 439 juta pada tahun 2030, dengan mayoritas peningkatan (69%) yang terjadi di negara berkembang (Shaw JE at al, 2010). Perkiraan jumlah orang dengan diabetes di Asia 113 juta tahun 2010 dan akan meningkat menjadi 180 juta pada tahun 2030 (Chan et al, 2009). WHO memprediksi kenaikan jurnlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Perkeni, 2011)
Faktor keturunan berperan penting dalam kejadian diabetes, didukung oleh faktor-faktor pencetus antara lain kegemukan, kurang olahraga,  makan terlalu banyak, sering mengalami stress dan dapat pula dipicu oleh konsumsi jangka panjang obat-obatan yang dapat menaikkan kadar gula darah seperti obat anti alergi yang mengandung hormone kortikosteroid (Darmono, 2005).
Diabetes melitus merupakan penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, namun bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah dengan kendali/kontrol glikemik yang optimal. Pengendalian DM tidak hanya ditujukan untuk menormalkan kadar glukosa darah tetapi juga mengendalikan faktor risiko lainnya yang sering dijumpai pada penderita dengan DM sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penyandang diabetes. Intervensi perubahan gaya hidup yang meliputi aktifitas fisik dan terapi gizi medis (MNT) merupakan dasar treatment anti hiperglikemik (Blonde, Laurence 2010).
MNT merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan MNT adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat MNT sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan,terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.
Diet harus dilakukan secara individu sesuai kebutuhan berdasarkan berat badan, profil lipid, obat-obatan dan gaya hidup. Total Karbohidrat dalam diet sekitar 45-65% dari asupan energi perhari, asupan serat harus >50 gr/hari dianggap cukup, konsumsi lemak harus dibatasi tidak boleh >30% dari total kalori. Sedangkan aktifitas fisik minimal 150menit/minggu sudah dianggap cukup (AACE, 2007).Asupan serat orang Indonesia masih sangat rendah. Masyarakat kurang terbiasa dengan konsumsi tinggi sayur dan buah-buahan. American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2008 merekomendasikan asupan serat makanan dari 14 g/1000 kkal. Jika standar ini telah terpenuhi, maka asupan hendaknya ditingkatkan secara bertahap hingga >50gr serat/hari. Sedangkan kolesterol tidak  boleh melebihi 200 mg / hari.
Standar ADA merekomendasikan penurunan berat badan pada penderita overweight maupun obesitas yang beresiko mengidap diabetes dengan indikasi bahwa “ Untuk penurunan berat badan, baik diit rendah karbohidrat, rendah lemak, dan diit rendah kalori dapat efektif dalam jangka pendek (sampai 1 tahun). Pasien dengan diit rendah karbohidrat harus dikontrol profil lipid, fungsi ginjal dan asupan protein (jika ada nefropati) sedangkan obat anti hiperglikemiknya harus disesuaikan sesuai kebutuhan. Intake lemak jenuh harus < 7% dari total kalori. Intake lemak trans harus dibatasi. Monitoring intake karbohidrat penting untuk meningkatkan kontrol glikemik (ADA, 2010).  
Pencegahan primer untuk individu yang berisiko tinggi terkena diabetes tipe 2 harus mencakup program terstruktur, menargetkan perubahan gaya hidup, dengan strategi diet penurunan energi dan lemak.
Pencegahan sekunder harus mencakup pola diet sehat menekankan karbohidrat dari buah-buahan, sayuran, biji-bijian, kacang-kacangan, dan susu rendah lemak. Makanan yang mengandung sukrosa harus dibatasi tetapi dapat digantikan untuk karbohidrat lain atau ditutupi dengan insulin atau obat penurun glukosa. Glukosa alkohol dan pemanis nonnutritive aman dalam batas level harian FDA US. Setidaknya 2 porsi ikan per minggu disarankan untuk sumber  omega-3 asam lemak tak jenuh ganda. Protein sebaiknya tidak digunakan untuk mengobati atau mencegah hipoglikemia malam hari. Diet tinggi protein juga tidak dianjurkan untuk menurunkan berat badan.

Penerapan MNT untuk pencegahan tersier, dengan tujuan mengobati dan mengendalikan komplikasi diabetes diantaranya komplikasi mikrovaskuler, pengobatan dan pengelolaan risiko kardiovaskular, manajemen hipoglikemia, manajemen penyakit akut, pengelolaan pasien dengan diabetes pada fasilitas kesehatan dan fasilitas perawatan diabetes dalam jangka panjang. MNT penting dalam mencegah diabetes, mengelola diabetes yang ada, dan mencegah, atau setidaknya memperlambat laju perkembangan komplikasi diabetes.



Referensi :
1.      Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Global estimates of the prevalence of diabetes for 2010 and 2030. Diabetes Res Clin Pract 2010;87:4-14
2.      Chan JC, Malik V, Jia W, et al. Diabetes in Asia: epidemiology, risk factors, and pathophysiology. JAMA 2009 ;30 1 : 2 1 292140
3.      ADA, 2008. American Diabetes Association Updates Guidelines for Medical Nutrition Therapy. Diabetes Care. 2008;31(Suppl 1):S61-S78
4.      AACE, 2007. American Association of Clinical Endocrinologist Diabetes Mellitus Practice Guideline Task Force. American Association of Clinical Endocrinologist Diabetes Medical Guidelines for Clinical practice for Management of Diabetes Mellitus. Endocr.Pract.2007;13(Suppl  -68)
5.      American Diabetes Association. 2010. Standards of Medical Care in Diabetes. Diabetes Care.2010 ; 33 (Suppl1) s11-s61
6.      Blonde, Lawrence. 2010. Current Anti-Hiperglycemic Treatment. Guidelines and Algoritms for Patient with Type 2 Diabetes Mellitus. The American Journal of Medicine. 123. S12-S18
7.      Darmono, 2005. Pidato Pengukuhan Guru Besar : Pengaturan Pola Hidup Penderita Diabetes untuk Mencegah Komplikasi Kerusakan Organ-organ Tubuh. FK Undip. Semarang.
8.      Perkeni, 2011. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe2 di Indonesia. Jakarta